Sudah tiga puluh tujuh lebih saya hidup di dunia ini, tak terasa betapa besar nikmat dan karunia Allah yang diberikan Allah pada diri saya. Pada 11 Juni 1971 saya dilahirkan dari seorang ibu yang demikian saya kagumi IBU SULI namanya dan seorang ayah yang saya banggakan BAPAK MULYADI.
Saya lahir di hari Jumat Kliwon pada musim panen ketika lungguh (gaji kepala desa dalam bentuk tanah garapan) Bapak memberikan hasil yang berlimpah. Karenanya bapak memberikan naman untukku DWI MARTANI... Dwi karena anak kedua dan Martani mungkin dimaksudkan TANI... mungkin beliau bercita-cita saya bisa meneruskan kegemaran bapak mengolah tanah pertanian yang masih digelutinya meskipun beliau sudah berusia lebih dari 60 tahun.
Aku lahir sebagai anak kedua, kakakku Sri Handayani 2,5 tahun lebih tua dariku dan adikku Eko Prasetyo agak jauh 8 tahun dibawahku. Aku masih ingat karena ibu dan bapak ingin anak laki-laki, maka beliau melanggar ketentuan dua anak cukup... program KB yang saat itu digiatkan oleh ibu sebagai ketua PKK. Maka lahirlah adikku setelah aku duduk di kelas 2 SD (waktu itu ada perubahan tahun ajaran sehingga aku merasakan SD kelas 2 selama 2,5 tahun).
Lahir sebagai anak kepala desa dan ibu seorang guru SD, membuatku sangat dihormati di kampungku. Hampir semua teman menyebutku dengan sebutan Mbak Dwi.... Aku suka risi dengan sebutan itu karena setelah aku cek tanggal lahirnya ternyata umurku paling muda dari semua teman SDku, sehingga aku memintanya mengubahnya menjadi Dik Dwi. Aku masih ingat ada Mbak Haryanti yang pintar, Mbak Puji, Mbak Mul, Mbak Yatmi, Warsito, Sukino, Purnomo dan banyak teman kecilku waktu SD. Mungkin karena aku anak guru sehingga bapak/ibu guru memberiku nilai yang bagus sehingga sejak kelas 3 SD aku selalu juara 1 walaupun aku gagal menjadi siswa teladan di kecamatan...
Sebagai layaknya anak2 sebayaku aku suka bermain lompat tali, gobag sodor, kasti, bekelan atau sekedar main sepur2an di belakang SD memanfaatkan pohon yang roboh kemudian diayun2.... Kalau sekolah aku sering tidak memakai sepatu karena untuk sampai ke sekolah harus melewati sungai...jadi kalau nggak pakai sepatu pas waktu banjir khan lebih enak. Yang pasti kalau hari Senin saja pakai sepatu karena harus upacara. Aku jarang belajar, tapi kalau lagi pas serius sering belajar sama teman2. Mereka datang ke rumah dan sering kita main cerdas-cermat. Cuma aku curang karena kalau cerdas cermat nggak pernah mau jadi peserta, selalu jadi juri atau panitia....maklum nggak ada yang nyaingi. Tapi aku seneng lho bisa belajar bareng dengan teman2 SD.
Ibuku sering menyuruhku membantu mengoreksi pekerjaan muridnya. Bahkan pada waktu itu aku pernah disuruh mengoreksi pekerjaan kelas 5 padahal aku baru kelas 4. Mulai dari mengoreksi multiple choice, isian pendek, menjawab pertanyaan dan terakhir ibu sudah memberikan kepercayaan padaku untuk koreksi karangan waktu aku kelas 5 dan 6 SD. Aku jadi bersyukur karena hoby koreksi itulah yang kemudian meringankan tugasku ketika aku jadi dosen.
Sebagai anak kepala desa yang digaji dengan tanah bengkok (lungguh) aku sering main ke sawah untuk sekedar bermain di tengah sawah yang siap ditanami...mulai dari menyemai, ndhaut (mencabuti hasil semaian), tandur (menanam hasil semaian di lahan), matun (menyiangi rumput), panen, atau sekedar mengirim makanan untuk pekerja di sawah semuanya sudah pernah aku alami. Hal yang paling nikmat adalah ketika di rumah kita bawa bekal nasi urap atau nasi oseng2 boncis dengan lauk ikan asing atau tempe goreng....dimakan di tengah pematang sawah dengan daun jati sebagai piring kaki masih mencebur di lumpur.... wah rasanya enak dan seger... belum lagi diselingi celoteh riang para pekerja di sawah... Habis makan daun yang dipakai untuk piring diberikan pada sapi yang menarik bajak atau garu di sawah... Lebih asyik jika pas musin tanam....bapak/para tukang berhasil menangkapkan belut atau kepiting.... Wah bisa menjadi santapan lezat saat makan siang di rumah...
Tidak hanya sampai pada padi yang dipanen. Proses dari padi dipanen sampai menjadi beras pun aku pahami dengan baik. Padi tersebut di gebug (dipukul dengan alat pemukul) sehingga padi terpisah dari jeraminya. Cara ini kemudian digantikan dengan mesin erek, mesin perontok yang dijalankan dengan kaki. Sekarang sudah sedemikian canggih tenaga kaki sudah diganti dengan tenaga mesin sehingga proses panen lebih cepat. Setelah itu padi dijemur 3 -4 kali. Jika sudah kering padi siap untuk disimpan atau langsung digiling sehingga menjadi beras. Kebetulan waktu aku kecil bapak memiliki mesin rice mill di samping rumah...sehingga aku bisa melihat bagaimana padi berubah menjadi beras dengan sisa proses berupa merang dan bekatul.
Kebiasaan itu demikian membekas dalam ingatan...bahkan ketika aku kuliah aku masih sering sesekali ikut terjun ke sawah untuk sekedar mengingat masa kecilku. Ketika aku sudah tua aku sering mengajak anak2 untuk main di sawah dan mengajarkan kepada mereka bagaimana nasi yang di piring itu dihasilkan. Demikian banyak pengorbanan dan tenaga harus dikeluarkan untuk dapat menghasilkan sebulir nasi..... bersambung