Saya sangat menikmati naik kereta api, karena ular panjang ini yang paling cepat dapat mengantar saya dari kampus UI Depok ke kampus UI Salemba atau tempat-tempat di pusat kota (maklum orang Jawa Barat, terasa jauh pergi ke Jakarta). Kereta api hanya membutuhkan waktu paling lama 45 menit sampai di statisun Cikini, stasitun paling dekat dengan kampus Salemba dari kampus UI Depok, sementara kalau naik mobil pribadi perlu waktu paling cepat 1 jam dengan asumsi tidak macet dan bisa menjadi 3 jam jika pagi atau sore hari.
Tapi mengapa ya negara kita ini masih mahal banget untuk membuat infrastruktur kereta api jadi lebih baik. Cobalah tengok, kereta api yan dipakai bekas dari Jepang atau Korea. Walaupun bekas masih enak dipakai. Walau kadang sering tertawa dalam hati, karena ternyata tulisan dan promosi yang ada di gerbong ada beberapa yang belum diambil. Sudahlah tidak usah mempermasalahkan bekas, apakah tidak bisa jumlahnya diperbanyak sehingga kalau pagi dan sore lebih nyaman naik kereta.
Saya sering berkelakar, kalau naik kereta jam 6-8 atau jam 16.30 - 19.00, meletakkan kaki saja sering susah, karena begitu penuh sesaknya orang di dalam kereta. Kalau saya pas sendiri, jujur lebih senang meletakkan kaki susah daripada harus menginjak gas dan rem mobil 2-3 jam. Belum lagi kereta api ekonomi yang penumpangnya sampai di atas gerbong. Bagi masyarakat yang pengin cepat sampai kantor atau pulang ke rumah, rasanya mereka tidak mempermasalahkan di mana duduk dan seperti apa keretanya, yang penting ada saja.
Kembali soal pertanyaan apakah kereta terlalu mahal dibeli negara kita?? Coba tengoklah anggaran negara kita di APBN sudah sedemikian panjang sehingga kalkulator tidak cukup lagi...lebih dari 1200milyar? Apa tidak bisa ya sedikit menyisihkan untuk membeli gerbong dan memperbaiki infrastruktur kereta api dan moda angkutan umum lainnya. Apakah tidak bisa rapat-rapat di hotel, pelatihan yang tidak jelas outputnya, perjalanan dinas yang tidak tahu untuk apa, perbaikan gedung kantor yang sudah mewah itu sedikit bisa dikurangi untuk dialihkan membeli kereta dan memperbaiki infrastrukturnya. Sebenarnya siapa yang salah. Apakah memang Pak Presiden dan Menteri PU tidak pernah melihat kereta api yang sarat penumpang di waktu sore, atau mereka tidak pernah menyamar menjadi rakyat jelata dan merasakan bagaimana naik kereta api? (kadang saya bermimpi Presiden kita Umar Bin Khatab yang sering menyambangi rakyatnya, untuk memastikan rakyatnya tidak ada yang kelaparan, jalan di negerinya tidak ada berlubang sehingga orang dapat celaka karenanya)....(he he jangan-jangan banyak pejabat di negara kita ini yang tidak pernah inspeksi ke bagian-bagian belakang kantornya, sehingga tidak tahu jika toilet kantornya sudah perlu diganti atau di sudut-sudut kantor banyak sekali atap yang bocor?).
Jadi kalau masalahnya hanya dana rasanya salah besar. Dananya cukup banyak. Jika tidak ada APBN/APBD saya pernah bermimpi, apakah Pak Dahlan tidak bisa mengerahkan dana CSR BUMN yang 5% untuk membeli kereta dan juga memperbaiki infrastruktur kereta api di Jakarta. Nanti beri logo besar CSR BUMN beri merk tuuh keretanya dengan logo semua BUMN. Atau jika itu juga tidak cukup apa perlu juga masyarakat seweran untuk membeli kereta, rasanya dari sisi urgensi lebih urgen dibandingkan dengan membangun gedung KPK ...he..he..he.
Jadi intinya niat dan langkah nyata untuk memperbaiki negeri dan infrastruktur kereta api. Cobalah tengok Thailand, Malaysia yang kereta apinya bagus dan jalurnya banyak. Jangan bandingkan kita dengan Singapura, Beijing atau Tokyo.... Kapan ya ada pemimpin yang mau memperhatikan kereta api kita, atau juga para wakil yang terhormat di senayan itu....adakah yang terpikir untuk memperjuangkan agar infrastruktur kereta mendapatkan prioritas dibandingkan membangun gedung wakil rakyat yang masih bagus??
Bukan hanya kereta yang kurang, tetapi infrastruktur yang tidak tertata. Cobalah tengok rel kereta api Cilebut yang putus karena longsor. Lihat intercange yang ada di Manggarai,sangat membahayakan, orang berlalu lalang di rel kereta, kadang kalau mau menyeberang rel harus naik ke atas kereta. Apakah tidak bisa dibuat jembatan penyeberangan yang tidak melewati rel (lewat atas atau bawah tanah). Belum lagi kita tidak setiap saat diberi informasi kapan kereta berikutnya akan lewat. Jika beruntung kita mendengar informasi dari mikrofon "Komuter line jurusan Kota berada di stasiun Citayam". Sering tergelitik berpikir, apa mahalnya membeli monitor dan menuliskan perubahan posisi stasiun di atas monitor sehingga tidak perlu pakai mikrofon, tetapi khan pelanggan setiap saat dapat membaca. Tooh penumpang kereta sebagian besar juga dapat membaca, tulisan kita menggunakan huruf latin tidak seperti di Jepang, China dan Korea.
Herannya, mengapa di dalam gerbong mesti harus ada satpam. Bukankah pada saat naik sudah diperiksa oleh penjaga karcis. Satpam juga sering tidak berfungsi memeriksa karcis saat kereta penuh. Kereta api masih menggunakan kelas ekonomi dan komuter line, karena itulah maka perlu ada satpam agar pembeli karcis kereta ekonomi tidak naik komuter line. Terasa berlebihan jika satu gerbong kereta harus ada satpam khusus.
Rasanya memang tidak perlu kereta api dengan dua kelas, jadikan saja semuanya kereta komuter line. Jika maksudnya memberikan subsidi masyarakat, berikan saja kartu khusus untuk mereka yang tidak mampu dengan kartu atau karcis khusus. Sehingga mereka tetap dapat naik kereta apa saja.
Namun penumpang kereta api di Indonesia memang berbeda dengan kereta api di LN. Disilpin penumpang masih sangat kurang, sehingga masih dijumpai penumpang yang tidak membayar. Akses ke stasiun sebagian besar masih terbuka sehingga penumpang yang tidak berkarcis dapat naik kereta. Portal kereta dan karcis otomatis sudah tersedia namun tidak tahu kapan akan mulai dirubah sistem kereta api kita.
Yaaa. beginilah infrstruktur di negeri kita, kadang kalau merenung sering tersenyum sendiri, rasanya hal yang mudah di negeri ini menjadi begitu susah.... Kereta api terus melaju,...di gerbang ekonomi pengamen menyanyikan lagunya, pedagang sibuk mengais rejeki, pengemis bergegas menyodorkan bungkus bekas permen untuk sekedar memperoleh derma. Ternyata perekonomian berjalan dalam kereta dari mereka untuk mereka. Mereka sesama masyarakat bawah saling memberi dan berbagi di atas kereta api. Semoga esok atau lusa ada pemimpin negeri yang suka naik kereta api, sehingga sedikit dapat memikirkan bagaimana kereta apiku ini menjadi lebih baik.
Depok, 5 Desember 2012
saat mau naik kereta api
Depok-Cikini
.
BalasHapus